Bengkulu Utara, GC – Hingga saat ini Ir.H.Mian dan Arie Septia Adinata, SE, M.AP menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bengkulu Utara, ketika melakukan penempatan jabatan para Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mengisi kekosongan jabatan, tentunya berdasarkan kemapuan atau SDM seseorang yang memadai dan bukan didasari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Hal ini dikatakan oleh Syaprianto Daud, S.Sos, yakni mantan ketua DPRD Kabupaten Bengkulu Utara, dari Partai PDI Perjuangan Periode 2004-2009 yang sekarang ini kabarnya akan maju kembali mencalonkan diri DPRD Provinsi Bengkulu tahun 2024, Jum’at (2/6/2023) di Kediamannya.
“Saya ini asli orang rejang Bengkulu Utara. Kalau kita lihat kenyataannya, selama Ir.H.Mian dan Ari menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Utara yang hingga kini sudah berjalan dua periode. Tak ada para ASN di lingkup Pemkab Bengkulu Utara yang mendapatkan jabatannya karena Suku. Contohnya, Kepala Kesbangpol, Zahrin, itu orang rejang, Kadis kominfo, Suryadi, Asisten III Agus Riyanto, Kepala BPBD, Kadis PUPR Buyung Azhari. Kemudian Kadis Perhubungan, Nirwan Tomeri Hazadin, itu juga asli banget orang rejang,” tutur Syaprianto Daud.
Lanjut Syaprianto Daud, “Intinya dalam penetapan jabatan atau penempatan jabatan karena kekoosongan selama Mian dan Ari menjabat sebagai Bupati dan wakil Bupati, itu tidak ada berdasarkan karena melihat ras, warna kulit, dan suku. Tetapi ketika orang tersebut bisa dan siap bekerja serta bertanggung jawab dalam tugasnya itu yang akan dipilih. Jadi kalau ada yang mengatakan didasari suku, itu orang artinya sudah ingin membuat gaduh, karena itu sudah masuk ke unsur SARA, dan itu perlu ada penindakan dari pihak yang berwajib,” tutup Syaprianto Daud.
Berdasarkan Pasal 243 ayat (1) jo ayat (2) UU KUHP baru, yang pertama ayat (1) menyatakan bahwa : Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Kedua, KUHP yang baru juga menetapkan pidana tambahan sebagaimana diatur pada Pasal 243 ayat (2) KUHP baru yang berbunyi: “Jika setiap orang sebagai mana dimaksud pada ayat (1) melakukan tindak pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f”. (Ben)